(gambar ilustrasi diambil dari static.republika.co.id)
Ketika
mendengar kata PSK, yang ada dalam benak kita adalah perempuan nakal, germo,
lokalisasi, dan lainnya yang berhubungan dengan praktek prostitusi. PSK sendiri adalah kepanjangan dari pekerja
seks komersial, saya kira semua orang suda tahu. Bukan partai sejahtera dan
keadilan. Hehehe
PSK sebenarnya
adalah sebutan yang lebih halus dari pada pelacur. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata pelacur berasal dari kata “lacur” yang mempunyai arti “buruk laku”,
sedangkan pelacur mengaju kepada pelakunya. Tidak perlu saya jelaskan dengan
detil makna dari kata PSK, pelacur, pecun, atau perempuan sundal, karena semua
mengarah pada satu makna, penjaja seks. Lalu bagaimana dengan para mantan
PSKnya? Saya tidak akan membahas kehidupan para mantan PSK, tetapi tulisan saya
disini bertujuan untuk menghimbau pembaca dan masyarakat umum agar membuka
kesempatan bagi mantan PSK menjalani kehidupan yang lebih baik setelah berkelut
dalam dunia prostitusi. Melihat realita dalam kehidupan sehari-hari dimana
masyarakat masih belum bisa menerima mantan PSK
untuk hidup sejajar bersama masyarakat umum walaupun dalam teori nilai
toleransi, saling menghargai sudah ada, mereka tetap masih dianggap hina dan
dipergunjingkan. Melihat di Indonesia standar ganda masih berlaku antara
penjaja seks dan pelanggannya. Saya mengawali tulisan ini dengan menulis
cuplikan-cuplikan sejarah prostitusi atau pelacuran dalam kancah dunia terlebih dahulu.
Harus diakui
bahwa praktek prostitusi ada dalam setiap negara di dunia dengan sejarah dan
latar belakang yang berbeda. Di Indonesia sendiri prostitusi atau pelacuran
mempunyai sejarah yang berbeda dengan negara lain, walaupun sekarang yang
namanya prostitusi ini dipandang sebagai hal yang buruk. Dalam sejarah dunia pelacuran tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan suatu peradaban, Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja katolik Roma, ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya". Pada zamannya, pelacuran memang dinilai sebagai hal yang hina dan menjijikkan, namun dibalik itu semua masyarakat percaya bahwa pelacuran dapat mencegah pemerkosaan terhadap kaum perempuan baik-baik oleh lelaki.
Dalam suatu
teori yang lain dijelaskan pula bahwa pada zaman Romawi, Yunani kuno,
Babilonia, Mesir Kuno, Palestina kuno terdapat suatu model pelacuran yang
disebut dengan “pelacur kuil” dimana penghasilan sang pelacur diserahkan kepada
para pendeta untuk membangun kuil atas dasar kepercayaan bahwa mereka akan
mendapatkan rahmat dari sang dewi (Ihsan:2004:130).