Bulan itu telah kembali, langit belum pernah melihat padanannya meskipun dalam mimpi. Bulan itu telah membawa api yang tak bisa mati biar disiram air sekali.
Pandanglah tanah sewaan jasad itu, dan pandanglah jiwaku, piala Cinta menyebabkan satu binasa dan yang lain mabuk terpesona.
Bila pemilik kedai minuman itu menjadi sahabat hatiku, darahku pun menjadi anggur dan hatiku terbakar, karena cinta.
Bila mata ini penuh dengan bayangannya, sebuah suara pun berseru, “Bagus, piala, dan sabas, wahai anggur!”.
Hatiku tiba-tiba melihat lautan Cinta, ia meloncat meninggalkan aku, katanya, “Mari, dapatkan aku kini!”.
Surya rupa Shams-i Din, Kebanggaan Tabriz di jalannya, bagai awan-gemawan segala hati berararkan.

